KIM Srikandi, Sebelum Belanda datang ke tanah Jawa / Indonesia pada tahun 1602, Kota-kota di Jawa banyak terputus dengan dan derasnya aliran sungai karena hutan-hutan masih lebat. Apalagi daerah tlatah wonorejo ( Madiun ) ini. Kota Madiun pun zaman dulu juga terputus / terbelah jadi 2 (dua) oleh Bengawan Madiun.
Daerah atau tempat penyeberangan
pada zaman dulu adalah Desa Nambangan ini. Dan itu sudah sejak abad ke IV
hadirnya Kerajaan Medang Kulon dengan Raja Maha. Maka Raja Dewa Buda, cikal
bakal kerajaan-kerajaan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali. Sebagaimana pada abad
ke XIV ditemukan benda-benda bersejarah. Dan tempat yang sangat berjasa sebagai
sarana dan prasarana penghubung kerajaan-kerajaan ( Kadipaten-kadipaten ) Brang
Wetan dan Brang Kulon adalah Desa kita tercinta ini. Salah satu dari ribuan
orang yang pekerjaannya melayani penyeberangan dan barang dari barat bengawan
dan timur bengawan Madiun atau sebaliknya adalah Ki Ageng Budhug ( Mbahe tukang
Prahu / mbah Budug ) Di sekitar Nambangan menurut nenek moyang kita, kalau
menyeberangkan orang / barang dengan gethek ( bambau petung di ikat menjadi
satu ), dan kalau menambang pasir dengan biduk-biduk ( prahu lesung yang diberi
bambu untuk keseimbangan kiri dan kanan. Kota pecinan dan pasar Gedhe, pasirnya
seluruhnya dari pasir Bengawan Madiun ini yang ditambang melalui tempat ini (
Desa ini ).
Ada versi lain bahwa Mbah Budhug
atau Ki Ageng Budhug adalah Prajurit Mataram yang tak mau bersekongkol dengan
Belanda akhirnya terdampar di Desa ini, dan yang mengatakan, Beliau adalah
seseorang yang berpenyakit budhug (sejenis lepra) pada masa tuanya. Mungkin ada
cerita-cerita yang lain sekarang terserah anda kita setuju dengan pendapat ; a)
Tukang Biduk, b) Prajurit Mataram atau
c) Orang yang sakit budhug dan atau ketiga-tiganya benar.
Rumah Ki Ageng Budhug ada disebelah
timur Puskesmas Jalan Sriti, yang ada beringinnya. Pada saat istirahat habis
bekerja beliau menancapkan tongkatnya ke tanah. Tak tahu bagaimana ceritanya
beliau lalu meninggal dunia, karena tua dan anehnya tongkat yang ditancapkan ke
tanah mengeluarkan tunas dan hidup sampai sekarang. Tongkat yang setia menemani
dirinya sekarang menjadi pohon kenthos yang sangat besar dan rindang, tutur
Sampurno, ST Lurah ke 10 selaku penggali Budaya Jawa tentang sejarah tersebut.
Oleh karena itu berpesan kepada Bp.
Jemakir, SP Lurah Nambangan Lor dan LPMK Bp. Rusmoyo untuk Nguri-nguri Budaya
Adi Luhung, maka setiap tahun pada hari Jum’at Legi bulan suro selalu mengadakan
acara BERSIH DESO dengan “Tradisi Rebut Isi Jodang,” Dengan demikian setiap
Suro mimilih Ketua secara musyawarah antara Tokoh masyarakat, Perangkat dan
Sesepuh Pinisepuh setempat, untuk mengadakan kegiatan : Kerja Bhakti masal,
Pengajian Umum, Wungon, Selamatan, Tilik Kampung, Nyadran dan Sedekah Bumi
sekaligus Larung Sesaji di bengawan Madiun,” tutur Toni Widodo, M.Pd. Beliau
juga menuturkan kepada masyarakat jangan salah mengartikan antara Budaya dengan
Agama, juga tak mau ketinggalan tanggal 15 Nopember 2015 Pawai Budaya. Maka
pada bulan Syuro 1949 Saka / Tahun Baru Hijriah 1437 ini, leluhur telah
mengingatkan kepada kita kepada para putra desanya ( putra daerahnya ), untuk
tidak melupakan sejarah. Semoga dengan acara Gelar Budaya Jawa “ Bersih deso”
ini. A). Para leluhur / pendahulu kita (yang babad desa ini) diampuni segala
dosa dan kesalahannya, diterima semua amal ibadahnya, serta diberikan tempat
yang layak baik disisi-Nya. B). Kita yang sekarang tinggal di Desa ini
dijauhkan dari segala balak ( Bahaya dan Malapetaka serta penyakit ), di
berkati dengan kelimpahan rejeki, diberikan rasa aman, tentram, nyaman serta
damai sejahtera sepanjang hidup, Amien.. amien.. amien yaa robbal alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar