Selasa, 12 April 2016

Nguri-nguri Budaya Nambangan Lor dalam rangka Bersih Desa


KIM Srikandi, Sebelum Belanda datang ke tanah Jawa / Indonesia pada tahun 1602, Kota-kota di Jawa banyak terputus dengan dan derasnya aliran sungai karena hutan-hutan masih lebat. Apalagi daerah tlatah wonorejo ( Madiun ) ini. Kota Madiun pun zaman dulu juga terputus / terbelah jadi 2 (dua) oleh Bengawan Madiun.
            Daerah atau tempat penyeberangan pada zaman dulu adalah Desa Nambangan ini. Dan itu sudah sejak abad ke IV hadirnya Kerajaan Medang Kulon dengan Raja Maha. Maka Raja Dewa Buda, cikal bakal kerajaan-kerajaan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali. Sebagaimana pada abad ke XIV ditemukan benda-benda bersejarah. Dan tempat yang sangat berjasa sebagai sarana dan prasarana penghubung kerajaan-kerajaan ( Kadipaten-kadipaten ) Brang Wetan dan Brang Kulon adalah Desa kita tercinta ini. Salah satu dari ribuan orang yang pekerjaannya melayani penyeberangan dan barang dari barat bengawan dan timur bengawan Madiun atau sebaliknya adalah Ki Ageng Budhug ( Mbahe tukang Prahu / mbah Budug ) Di sekitar Nambangan menurut nenek moyang kita, kalau menyeberangkan orang / barang dengan gethek ( bambau petung di ikat menjadi satu ), dan kalau menambang pasir dengan biduk-biduk ( prahu lesung yang diberi bambu untuk keseimbangan kiri dan kanan. Kota pecinan dan pasar Gedhe, pasirnya seluruhnya dari pasir Bengawan Madiun ini yang ditambang melalui tempat ini ( Desa ini ).
            Ada versi lain bahwa Mbah Budhug atau Ki Ageng Budhug adalah Prajurit Mataram yang tak mau bersekongkol dengan Belanda akhirnya terdampar di Desa ini, dan yang mengatakan, Beliau adalah seseorang yang berpenyakit budhug (sejenis lepra) pada masa tuanya. Mungkin ada cerita-cerita yang lain sekarang terserah anda kita setuju dengan pendapat ; a) Tukang Biduk,  b) Prajurit Mataram atau c) Orang yang sakit budhug dan atau ketiga-tiganya benar.
            Rumah Ki Ageng Budhug ada disebelah timur Puskesmas Jalan Sriti, yang ada beringinnya. Pada saat istirahat habis bekerja beliau menancapkan tongkatnya ke tanah. Tak tahu bagaimana ceritanya beliau lalu meninggal dunia, karena tua dan anehnya tongkat yang ditancapkan ke tanah mengeluarkan tunas dan hidup sampai sekarang. Tongkat yang setia menemani dirinya sekarang menjadi pohon kenthos yang sangat besar dan rindang, tutur Sampurno, ST Lurah ke 10 selaku penggali Budaya Jawa tentang sejarah tersebut.
            Oleh karena itu berpesan kepada Bp. Jemakir, SP Lurah Nambangan Lor dan LPMK Bp. Rusmoyo untuk Nguri-nguri Budaya Adi Luhung, maka setiap tahun pada hari Jum’at Legi bulan suro selalu mengadakan acara BERSIH DESO dengan “Tradisi Rebut Isi Jodang,” Dengan demikian setiap Suro mimilih Ketua secara musyawarah antara Tokoh masyarakat, Perangkat dan Sesepuh Pinisepuh setempat, untuk mengadakan kegiatan : Kerja Bhakti masal, Pengajian Umum, Wungon, Selamatan, Tilik Kampung, Nyadran dan Sedekah Bumi sekaligus Larung Sesaji di bengawan Madiun,” tutur Toni Widodo, M.Pd. Beliau juga menuturkan kepada masyarakat jangan salah mengartikan antara Budaya dengan Agama, juga tak mau ketinggalan tanggal 15 Nopember 2015 Pawai Budaya. Maka pada bulan Syuro 1949 Saka / Tahun Baru Hijriah 1437 ini, leluhur telah mengingatkan kepada kita kepada para putra desanya ( putra daerahnya ), untuk tidak melupakan sejarah. Semoga dengan acara Gelar Budaya Jawa “ Bersih deso” ini. A). Para leluhur / pendahulu kita (yang babad desa ini) diampuni segala dosa dan kesalahannya, diterima semua amal ibadahnya, serta diberikan tempat yang layak baik disisi-Nya. B). Kita yang sekarang tinggal di Desa ini dijauhkan dari segala balak ( Bahaya dan Malapetaka serta penyakit ), di berkati dengan kelimpahan rejeki, diberikan rasa aman, tentram, nyaman serta damai sejahtera sepanjang hidup, Amien.. amien.. amien yaa robbal alamin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar